PEDOMAN
PELAKSANAAN KODE ETIK
PSIKOLOGI INDONESIA*
I. PENJELASAN MUKADIMAH
I.1. Kode
Etik Psikologi Indonesia
Kode Etik
Psikologi Indonesia yang menjadi pegangan dalam terapan praktik psikologi di
Indonesia terdiri dari mukadimah, tujuh bab dan sembilan belas pasal. Kode Etik
Psikologi Indonesia dilengkapi dengan penjelasan dalam bentuk Pedoman
Pelaksanaan, yang memuat tentang prinsip-prinsip pelaksanaannya. Mukadimah
dan tujuh bab dengan sembilan belas pasal yang tercantum dalam Kode Etik
Psikologi Indonesia merupakan pedoman yang mengarahkan para Ilmuwan Psikologi
dan Psikolog dalam
menerapkan pengetahuan dan keterampilannya tentang perilaku manusia sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan manusia. Kode Etik Psikologi Indonesia dibuat oleh Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) untuk menjadi pegangan bersama bagi Ilmuwan Psikologi dan Psikolog Indonesia.
menerapkan pengetahuan dan keterampilannya tentang perilaku manusia sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan manusia. Kode Etik Psikologi Indonesia dibuat oleh Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) untuk menjadi pegangan bersama bagi Ilmuwan Psikologi dan Psikolog Indonesia.
I.2. Terapan Kode Etik Psikologi Indonesia
Kode Etik Psikologi Indonesia menjadi pedoman bagi para Ilmuwan Psikologi
dan Psikolog dalam melaksanakan profesinya dan menjadi acuan bagi Majelis
Psikologi dlm menafsirkan terapannya pada kasus/kejadian/permasalahan yg ditangani.
Kode Etik Psikologi Indonesia juga menjadi acuan bagi pihak-pihak lain di
masyarakat dlm mempertimbangkan segala sesuatu yg berkaitan dengan terapan
psikologi di Indonesia, termasuk lembaga peradilan dan institusi/lembaga
pemerintah, swasta, dan organisasi masyarakat lainnya.
I.3. Ruang Lingkup Kode Etik Psikologi Indonesia
Kode Etik Psikologi Indonesia hanya mencakup lingkup tugas psikologi, yang
terkandung dalam pengertian keahlian yang dimiliki Ilmuwan Psikologi dan
Psikolog, yang dipahami sebagai kegiatan ilmiah dan praktik psikologi. Termasuk
dalam pengertian ini adalah kegiatan riset, pengajaran, pendidikan, pelatihan,
klinis dan konseling, pengembangan alat tes psikologi, konsultasi manajemen,
intervensi sosial, dan berbagai bentuk terapan ilmu dan profesi psikologi
lainnya. Kegiatan yang dilakukan para Ilmuwan Psikologi dan Psikolog secara
pribadi, dan tidak ada kaitannya dengan terapan psikologi sesuai dengan kaidah
yang ditentukan dalam aturan terapan psikologi, atau tidak berdampak pada bidang
psikologi, tidak termasuk dalam kode etik ini.
I.4. Penyebaran Kode Etik Psikologi Indonesia
Kode Etik Psikologi Indonesia disebarluaskan kepada seluruh Ilmuwan
Psikologi dan Psikolog Indonesia melalui berbagai jalur. Di antaranya adalah
melalui pendidikan psikologi. Diharapkan sejak menjadi mahasiswa psikologi Kode
Etik Psikologi Indonesia sudah diketahui dan dipahami. Pada saat lulus, semua
sarjana yang sudah menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Psikologi diharapkan
memahami Kode Etik Psikologi Indonesia. Cara penyebaran lainnya adalah melalui
organisasi profesi. Penyebaran kode etik ini perlu diperhatikan karena semua
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog mempunyai kewajiban untuk memahami kode etik,
atau penjelasan kode etik, dan terapannya dalam pelaksanaan tugas mereka.
Kurang dipahaminya kode etik ini tidak dapat dijadikan alasan untuk
mempertahankan diri, ketika berhadapan dengan permasalahan yang bisa
dikategorikan sebagai pelanggaran dengan segala akibatnya, baik yang bersifat
penanganan internal organisasi profesi maupun penanganan menurut hukum yang
berlaku. .
I.5. Pelanggaran Kode Etik Psikologi Indonesia
Dalam penanganan kasus pelanggaran Kode Etik Psikologi Indonesia, Majelis
Psikologi merupakan badan yang memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan
mengenai bentuk sanksi yang akan dijatuhkan terhadap kasus pelanggaran
tersebut. Dalam kaitan ini Majelis Psikologi mengacu pada pedoman yang memuat
ketentuan mengenai terapan ilmu dan profesi psikologi, bentuk pelanggaran yang
dilakukan, dan bentuk sanksi yang bisa dijatuhkan terhadap anggota atau pihak
yang melakukan pelanggaran.
Apabila dlm pelaksanaan tugasnya selaku Ilmuwan Psikologi dan atau Psikolog
ternyata terjadi tindakan yg dianggap melanggar hukum, maka penyelesaian
masalahnya diproses menurut hukum yang berlaku, sebagai ungkapan tanggung jawab
dalam terapan psikologi.
I.6. Cakupan Kode Etik Psikologi Indonesia
Pedoman Plaksanaan Kode
Etik Psikologi Indonesia teridiri dari penjelasan umum & prinsip-prinsip tentang kewenangan; integritas; tanggung jawab
profesional & keilmuan; penghormatan trhdp HAM; perhatian terhadap kesejahteraan pihak lain; & tanggungjawab sosial.
Pasal 2 TANGGUNG JAWAB
2.1. Tanggung Jawab Etika:
Ilmuwan Psikologi & Psikolog mempunyai tangungjawab etika dlm melaksanakan tugasnya. Mereka terikat pd Kode Etik
Psikologi Indonesia.
2.2. Tanggung Jawab Hubungan Profesional dan Ilmiah
Tanggung jawab Ilmuwan Psikologi dalam memberi jasa psikologi dan Psikolog
dalam memberikan jasa dan praktik psikologi hanya dalam konteks hubungan atau
peran profesional maupun ilmiah.
Pasal 3 BATAS KEILMUAN
3.1. Menyadari Keterbatasan Keilmuan
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog menyadari sepenuhnya atas keterbatasan
keilmuan psikologi, yang dinyatakan dalam sikap dan cara kerja berdasarkan kaidah
yang berlaku dalam ruang lingkup keilmuan psikologi. Ada tiga hal yang menjadi
landasan pentingnya kesadaran ini dimiliki oleh Ilmuwan Psikologi dan Psikolog,
yaitu:
- Mencegah Ilmuwan Psikologi dan Psikolog untuk melakukan kegiatan yang melampaui batas keilmuannya.
- Mendorong kerja sama dengan profesi lain yang terkait dalam upaya mengatasi permasalahannya dengan tetap memperhatikan usaha untuk menghargai dan menghormati kompetensi dan kewenangan masing-masing pihak.
- Memberikan informasi kepada pengguna jasa tentang keterbatasan keilmuan psikologi yang mendorong masyarakat untuk dapat memanfaatkan jasa/praktik psikologi secara benar.
3.2. Konsultasi dan Rujukan
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog mengatur konsultasi dan rujukan yang pantas,
didasarkan pada prinsip kepentingan dan persetujuan klien dengan
mempertimbangkan berbagai hal, termasuk segi hukum dan kewajiban lain.
Berdasarkan keterbatasan kemampuan, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog bekerjasama
dengan profesi lain untuk melayani klien. Dalam praktik perujukan kasus kepada
ahli lain, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog harus konsisten dengan hukum yang
berlaku.
Pasal 4 PERILAKU DAN CITRA PROFESI
4.1. Pasal 4 a: Perilaku Ilmuwan Psikologi dan Psikolog
Dlm penerapan keahliannya, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib
memperhatikan, mempelajari, mempertimbangkan etika dan nilai-nilai moral yg
berlaku di ling masy tempatnya bekerja. Prasmaan dan perbedaan latar belakang, persepsi, opini, sikap, dan kebiasaan antara Ilmuwan
Psikologi dan Psikolog dgn klien, mahasiswa, peserta penelitian, pribadi /
pihak lain yang terlibat dlm pekerjaannya tidak akan mmpngaruhi sikap dan cara
kerjanya, yang bisa membuatnya berperilaku yg dpt diartikan sbgai keberpihakan
/ mungkin menentang.
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog perlu mengembangkan sikap membuka diri
terhadap perbedaan etika dan nilai-nilai moral di luar yang diyakininya akan
membentuk wawasan pikir yang luas dan sikap yang netral, serta berupaya terus
menerus mengikuti perkembangan masyarakat. Hal ini diperlukan dalam penerapan
keahlian Ilmuwan Psikologi dan Psikolog untuk mencegah pemaksaan pendapat atau
tindakan terhadap pihak yang menggunakan jasa/praktik psikologi, yang bisa
diartikan sebagai pelanggaran kode etik.
4.2. Penyalahgunaan Pengaruh Keahlian Psikologi
Dalam melakukan penilaian, tindakan ilmiah dan profesionalnya, Ilmuwan
Psikologi dan Psikolog dapat mempengaruhi kehidupan orang lain. Oleh karena itu
perlu dikembangkan sikap berhati-hati terhadap faktor pribadi, sosial,
organisasi, atau politis yang dapat mengarah pada perilaku yang dapat
dikategorikan sebagai penyalahgunaan pengaruh mereka sebagai Ilmuwan Psikologi
atau Psikolog.
4.2. Pasal 4 b: Citra Profesi Psikologi
Citra profesi psikologi berkaitan secara langsung dan tidak langsung dengan
perilaku Ilmuwan Psikologi dan Psikolog. Kesadaran mengenai hal ini perlu
dimiliki oleh Ilmuwan Psikologi dan Psikolog, terutama dalam terapan
keahliannya.
III. PENJELASAN BAB II : HUBUNGAN PROFESIONAL
Pasal 5 HUBUNGAN ANTAR REKAN PROFESI
5.1. Pasal 5 a: Kerjasama dan Persaingan
Dalam pelaksanaan kegiatannya, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog dapat saja
berhadapan dengan koleganya dalam bentuk kerjasama dan persaingan (kompetisi).
Kewajiban menghargai, menghormati, dan menjaga hak-hak serta nama baik rekan
profesinya, yaitu sejawat akademisi keilmuan psikologi/psikolog, harus selalu
disadari. Kewajiban itu tercermin dalam sikap yang menunjukkan kemampuan
menjaga diri dalam memberikan pernyataan, komentar, ataupun melakukan tindakan
yang diperlukan, seandainya terjadi kekurangan atau kesalahan kolega yg harus
dikoreksi untuk kepentingan berbagai pihak, terutama dalam rangka penegakan
citra profesi. Sikap yang menunjukkan kemampuan menjaga diri ini terutama
dimaksudkan dalam kaitan dengan upaya menjaga citra profesi dan persaingan yang
tidak sehat antar sejawat. Pernyataan, komentar, tindakan untuk koreksi yang
diberikan kepada pihak lain diupayakan agar tidak merugikan sejawat maupun
citra profesi. Dalam hal ini langkah-langkah yg diambil dapat mengacu pada
ketentuan khusus mengenai pemberian umpan balik (lihat penjelasan Pasal 5 b)
dan pengawasan pelaksanaan kode etik (lihat penjelasan Bab VI pasal 17 dan 18).
5.2. Pasal 5 b: Pemberian Umpan Balik
Dalam pelaksanaan kegiatannya selalu ada kemungkinan bagi Ilmuwan Psikologi
dan Psikolog menemukan kekurangan atau kesalahan yang dilakukan oleh sejawat
akademisi keilmuan psikologi/psikolog, baik yang ditemukannya sendiri maupun
yang bersumber dari pihak lain. Sesuai dengan sifat hubungan antar rekan
profesi maka Ilmuwan Psikologi dan Psikolog yg menemukan kekurangan atau
kesalahan tersebut diharapkan bersedia memberikan umpan balik, baik secara
langsung, yaitu kepada sejawat yang bersangkutan, maupun tidak langsung, yang
dapat dilakukan melalui organisasi profesi atau sejenisnya. Pertimbangan
menyampaikan secara langsung dan tidak langsung didasarkan pada situasi dan
kondisinya. Konsultasi dengan pihak yang dianggap kompeten dan berwenang dalam
rangka mempertimbangkan hal tersebut hendaknya tetap dalam kerangka menghargai,
menjaga kehormatan, dan menjaga hak-hak serta nama baik rekan profesi tersebut.
Upaya untuk tidak justru menyebarkan permasalahannya, yang dapat merugikan nama
baik rekan profesi tersebut, harus diperhatikan. Perlu dipahami bahwa pemberian
umpan balik lebih ditujukan sebagai upaya mendorong peningkatan keahlian
profesi. Perlu disadari pula kemungkinan diperlukannya akurasi data / kejelasan
fakta mengenai kekurangan atau kesalahan tersebut untuk menjaga obyektifitas
dalam pemberian umpan balik.
5.3. Pasal 5 c: Pencegahan Pelanggaran Kode Etik
Hubungan antar rekan profesi mencakup kewajiban bagi Ilmuwan Psikologi dan
Psikolog untuk mengingatkan rekan profesinya dalam rangka mencegah terjadinya
pelanggaran kode etik psikologi. Upaya tersebut dapat dilakukan dalam bentuk
mengingatkan sebelum terjadinya pelanggaran, yaitu berdasarkan tanda-tanda yang
bisa dikenali sebagai tindakan pelanggaran yang mungkin tidak diketahui atau
tidak disadari oleh rekan profesinya. Untuk keperluan ini Ilmuwan Psikologi dan
Psikolog dapat mengacu pada ketentuan mengenai pengawasan pelaksanaan kode etik
(lihat penjelasan Bab VI pasal 17 dan 18). Sikap atau tindakan mengingatkan
sejawat ini didasari pada kepentingan untuk menjaga citra Ilmuwan Psikologi dan
Psikolog serta profesi psikologi.
5.4. Pasal 5 d: Pelaporan Pelanggaran Kode Etik
Dalam pelaksanaan kewajiban melaporkan terjadinya pelanggaran kode etik
psikologi ada kemungkinan bahwa Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak dapat
melakukannya karena di luar batas kompetensi dan kewenangannya. Apabila hal ini
terjadi maka Ilmuwan Psikologi dan Psikolog dapat melaporkannya kepada
organisasi profesi. Sama seperti upaya yang dilakukan untuk mencegah sejawat
melakukan pelanggaran kode etik, maka dalam pembuatan laporan tersebut Ilmuwan
Psikologi dan Psikolog dapat mengacu pada ketentuan mengenai pengawasan
pelaksanaan kode etik (lihat penjelasan Bab VI pasal 17 dan 18). Dalam
melaporkan kepada organisasi profesi hendaknya didasari pada kepentingan untuk
menjaga citra Ilmuwan Psikologi dan Psikolog serta profesi psikologi. Termasuk
dalam pengertian ini adalah kewajiban untuk tidak mengarsipkan atau menyimpan
keluhan tentang pelanggaran etika, yang bisa diartikan sebagai tindakan
merugikan sejawat dengan alasan kepentingan melindungi publik dari malpraktik
psikologi.
Pasal 6 HUBUNGAN DENGAN PROFESI LAIN
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib menghargai, menghormati kompetensi dan
kewenangan rekan dari profesi lain. Dalam kaitan ini hubungan yang bisa terjadi
adalah bentuk hubungan ganda dan hubungan dalam rangka pemanfaatan jasa dari
pihak ke tiga.
6.1. Hubungan Ganda
Dalam kondisi dan situasi tertentu mungkin Ilmuwan Psikologi dan Psikolog
tidak bisa menghindar dari kontak sosial atau hubungan non-profesional lainnya
dengan pribadi-pribadi seperti pasien, klien, mahasiswa, orang yang di
supervisi atau peserta penelitian. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog harus selalu
peka terhadap kemungkinan pengaruh merugikan dari hubungan-hubungan tersebut
terhadap pekerjaan mereka dan terhadap pribadi-pribadi yang terlibat. Ilmuwan
Psikologi dan Psikolog menahan diri dari memasuki atau menjanjikan hubungan
lain yang bersifat pribadi, ilmiah, profesional, finansial dan hubungan lain
dengan pribadi-pribadi tersebut, terutama bila tampaknya cenderung akan
mempengaruhi obyektifitas atau mempengaruhi efektifitas kerja mereka, atau juga
merugikan pihak lain tersebut. Bilamana mungkin, mereka menahan diri untuk
tidak mengambil kewajiban profesional atau ilmiah bila sebuah hubungan yang
sudah ada sebelumnya dapat menimbulkan resiko merugikan. Bila Ilmuwan Psikologi
dan Psikolog menemukan tanda-tanda adanya hubungan ganda yang berpotensi
merugikan, mereka berusaha menyelesaikannya dengan mengutamakan kepentingan
pribadi yang terlibat, dan dengan kepatuhan maksimal kepada kode etik.
6.2. Permintaan Jasa Pihak Ke Tiga
Dalam hal ilmuwan psikologi atau psikolog setuju untuk memberikan jasa
kepada pribadi atau organisasi atas permintaan pihak ke tiga, sedapat mungkin
mereka sudah memperjelas peran dan tanggung jawabnya pada awal pemberian jasa
tersebut, termasuk sifat hubungan dari masing-masing pihak yang terlibat.
Penjelasan tersebut meliputi peran (terapis, konsultan organisasi, pemberi
diagnosa, atau saksi ahli), penggunaan yang mungkin dari jasa-jasa tersebut
atau informasi yang diperoleh, dan fakta bahwa ada keterbatasan dalam hal
kerahasiaan. Bila diduga akan ada resiko di mana Ilmuwan Psikologi dan Psikolog
diminta melakukan peran yang saling bertentangan karena adanya keterlibatan
pihak ketiga, maka mereka harus memperjelas sifat dan arah tanggung jawabnya,
lalu memberikan informasi kepada masing-masing pihak. Dalam keadaan
permasalahannya sudah berkembang, mereka berupaya menyelesaikannya sesuai
dengan kode etik yang berlaku.
IV. PENJELASAN BAB III : PEMBERIAN JASA/PRAKTIK PSIKOLOGI
Pasal 7 PELAKSANAAN KEGIATAN SESUAI BATAS KEAHLIAN/KEWENANGAN
7.1. Pasal 7 a: Kesesuaian dengan batas keahlian dan kewenangan
Dalam pelaksanaan kegiatan ilmunya, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog
berpegang pada ketentuan berikut untuk menunjukkan kesesuaian dengan batas
keahlian dan kewenangannya. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog memberikan jasa,
mengajar, dan mengadakan penelitian hanya dalam batasan kompetensi mereka
berdasarkan pendidikan, pelatihan, pengalaman yang diperoleh dalam rangka
bimbingan keahlian maupun pengalaman yang diperoleh secara profesional.
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog memberikan jasa,
mengajar, dan mengadakan penelitian dalam bidang baru atau menggunakan teknik
baru hanya sesudah melakukan studi, pelatihan, supervisi dan atau konsultasi
dengan pihak-pihak yang memang memiliki kemampuan dalam bidang atau teknik
tersebut. Di dalam bidang-bidang baru di mana tidak terdapat standar yang
secara umum sudah diakui untuk pelatihan awal, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog
tetap harus melakukan langkah-langkah untuk memastikan kemampuannya. Kepastian
tersebut meliputi kemampuan dalam pekerjaan mereka dan melindungi pasien,
klien, mahasiswa, peserta penelitian, dan orang-orang atau pihak lain dari
kerugian yang mungkin timbul.
7.2. Pasal 7 b: Menghormati hak orang/lembaga/organisasi/institusi lain
7.2.1. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog dalam memberikan jasa/praktik
psikologi menghormati hak dalam melaksanakan kegiatan di bidang pengajaran,
pelatihan, dan pendidikan.
Dalam melaksanakan pekerjaannya, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib
mengembangkan desain program pengajaran, pelatihan, pendidikan. Desain tersebut
menggambarkan kemampuannya, baik dalam hal pengetahuan maupun pengalaman yang
dimilikinya. Desain yang dibuatnya sesuai dengan persyaratan yang berlaku,
sertifikasi, atau tujuan lainnya yang ditentukan oleh program.
Program pengajaran, pelatihan, pendidikan yang meliputi tujuan, isi,
metoda, dan aspek lain yang terkait dalam penggarapan program secara utuh harus
diuraikan dalam bentuk informasi yang dapat menjadi bahan pegangan bagi semua
pihak yang menggunakannya. Informasi tersebut harus disiapkan dan selalu
tersedia bagi semua pihak yang memerlukannya, sejauh terkait dalam pelaksanaan
program tersebut..
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog berusaha meyakinkan pihak terkait tentang
garis besar dan kerangka pelatihan agar bisa dipahami dengan jelas, tidak
disalahtafsirkan, terutama mengenai subyek yang akan dibahas. Pemikiran
tersebut harus dituangkan dalam formulasi yang memungkinkan dilakukannya
evaluasi karena ada data dasarnya, selain kesan yang diperoleh dari pelaksanaan
pengajaran, pelatihan, dan pendidikan tersebut.
Dalam upaya mempromosikan, baik dalam bentuk pengumuman, pembuatan dan
penyebaran katalog atau brosur, pengiklanan, penyelenggaraan seminar/lokakarya
untuk tujuan ini maka Ilmuwan Psikologi dan Psikolog bertanggung jawab terutama
untuk meyakinkan bahwa sasaran memahaminya dengan benar. Dalam hal ini perlu
diperhatikan kejelasan tentang tujuan pelaksanaannya, pembicaranya, waktunya,
tempat, perlengkapan/fasilitas yang diperoleh, dan biaya yang diperlukan.
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog bertanggung jawab atas akurasi dan tujuan
pengajaran, pelatihan, pendidikan yang diselenggarakannya. Tingkat obyektivitas
yang logis dan realistis perlu diperhatikan. Dalam melakukan kegiatan
pengajaran, pelatihan, pendidikan tersebut Ilmuwan Psikologi dan Psikolog
menyadari bahwa kekuasaan yang dimilikinya atas peserta atau supervisi yang
dilakukannya adalah dalam hubungan profesional. Hal ini perlu disadari untuk
menghindarkan kemungkinan munculnya hubungan personal dengan siswa atau orang
yang dibimbingnya.
Dalam menyelenggarakan kegiatan pengajaran, pelatihan, pendidikan hendaknya
disadari adanya keterbatasan kemampuan yang dimiliki, baik dalam hal kompetensi
maupun kewenangan. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak mengajarkan teknik atau
prosedur yang memerlukan pelatihan khusus, izin, atau keahlian tertentu, yang
tidak diperolehnya secara langsung dalam pendidikannya. Termasuk tapi tidak
terbatas pada contoh ini adalah kemampuan mengajarkan/melatih/mendidik peserta
untuk belajar hipnosis, biofeedback, dan teknik proyeksi. Ilmuwan
Psikologi dan Psikolog juga memperhatikan kompetensi dan kewenangan peserta,
sehingga membatasi hanya memberikan kepada mereka yang secara profesional
memang berhak. Pelatihan semacam itu tidak akan diberikan kepada mereka yang
tidak berhak karena tidak terlatih dan mendapat kewenangan untuk itu.
Dalam hubungan akademis dan hubungan supervisi, Ilmuwan Psikologi dan
Psikolog membangun proses untuk memungkinkan terjadinya pemberian umpan balik
bagi peserta didik, orang yang dibimbingnya. Pembinaan hubungan itu termasuk
upaya mengenali peserta didik dan kinerjanya. Upaya evaluasi terhadap peserta
didik atau orang yang dibimbing dilakukan oleh Ilmuwan Psikologi dan Psikolog
berdasarkan kinerjanya secara nyata dan ada relevansinya dengan persyaratan
yang ditentukan dalam program.
7.2.2. Ilmuwan Psikologi & Psikolog dlm mmberikn jasa/praktik psikologi
mnghormati hak dlm mlaksanakn kegiatan di bidang riset.
Dalam terapan keahlian di bidang penelitian, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog
menyusun rencana penelitian secara rinci, sehingga dapat dipahami oleh pihak
lain yang berkepentingan dengan kegiatan penelitian tersebut. Ilmuwan Psikologi
dan Psikolog yang melakukan penelitian, membuat desain, melaksanakan, dan
melaporkan hasilnya yang disusun sesuai dengan standar atau kompetensi ilmiah
dan etik riset. Rancangan riset ini juga dimaksudkan untuk menghindari salah
tafsir atau kesalahpahaman lainnya.
Dalam merancang riset, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog memperhatikan etika.
Kalau etiknya tidak jelas, / ternyata blm ada untuk kperluan trsbut, dpt
dilakukn upaya lain, seperti berkonsultasi dgn pihak-pihak yg kompeten dan
berwenang, misalnya badan-badan resmi pemerintah / swasta, organisasi profesi
lain, komite khusus, klmpok sejawat yg seminat dm bidang tertentu, / mekanisme
lainnya.
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog bertanggung jawab dalam hal langkah-langkah
yang diperlukan untuk memberi perlindungan terhadap hak dan kesejahteraan
peserta penelitian, atau pihak lain yang mungkin terkena dampak pelaksanaan
riset, termasuk kesejahteraan hewan yang digunakan dalam penelitian. Ilmuwan
Psikologi dan Psikolog melakukan penelitian secara kompeten, sesuai kemampuan
dan kewenangannya, dan memperhatikan harkat martabat serta kesejahteraan
pihak-pihak yang dilbatkan dalam penelitiannya.
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog bertanggung jawab atas etika ketika
melakukan penelitian yang dilakukannya / yg dilakukan pihak lain di bawah
bimbingannya. Dlm hal penelitian trsbut dilakukn brsama rekan peneliti dan
asistennya, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog menyadari bhw izin untuk melakukan
kegiatan oleh rekan peneliti dan asisten harus sesuai dgn batas kemampuan dan
kewenangannya, berdasarkan yg telah dipelajarinya. Konsultasi dengan kolega yg
lebih ahli di bidang penelitian yg dilakukannya merupakan bagian dari proses
dlm impelementasi riset, terutama untuk hal-hal yg sekiranya trpengaruh dgn
wilayah penelitian yg sdng dilakukannya.
Dalam melakukan riset, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog harus memenuhi aturan
hukum dan ketentuan yang berlaku dalam hubungan sebagai warga negara, baik
dalam perencanaan maupun pelaksanaannya. Izin penelitian dari instansi terkait
dan dari wilayah yang menjadi lokasi penelitian harus diperoleh sesuai degan
aturan yang berlaku, sejalan dengan aturan profesional yang harus diikutinya,
terutama dalam kaitan dengan pelibatan orang atau hewan yang digunakan dalam
penelitian. Selain izin penelitian, persetujuan dari badan setempat untuk
melakukan riset juga harus diperoleh Ilmuwan Psikologi dan Psikolog, dengan
memberikan informasi akurat tentang riset yang tertuang dalam proposal dan
protokol penelitian.
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog harus membuat perjanjian dengan pihak yang
dilibatkan, yang dilakukan sebelum riset, melalui penjelasan tentang macam
kegiatan riset dan tanggung jawab masing-masing pihak. Dikecualikan dari ketentuan
ini adalah macam penelitian yang tidak memerlukan identitas yang jelas, seperti
survei anonimous dan pengamatan alamiah. Keterusterangan kepada pihak yang
terlibat atau dilibatkan harus dilakukan. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog sama
sekali tidak boleh menipu atau menutupi, yang kalau saja calon/peserta itu tahu
dapat mempengaruhi niatnya untuk ikut serta dalam penelitian tersebut, misalnya
kemungkinan mengalami cedera fisik, rasa tidak menyenangkan, atau pengalaman
emosional yang tidak disukai. Penjelasan tersebut harus diberikan sedini
mungkin, dalam bentuk uraian tentang maksud dan tujuan riset, prosedur, proses
yang akan dijalani, agar calon/peserta dapat mengambil kesimpulan dari riset
tersebut dan memahami kaitannya dengan dirinya.
Dalam pelaksanaan riset tertentu diperlukan ‘informed consent’ yang
dinyatakan secara formal. Selain tertulis, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog
menjelaskan secara lisan agar dapat dipahami dengan benar. Dalam menyampaikan
penjelasan tersebut, baik lisan maupun tertulis, digunakan bahasa atau istilah
yang dipahami oleh peserta riset. Pernyataan persetujuan itu didokumentasikan
sesuai keperluannya. Dalam hal peserta riset tidak bisa membuat informed
consent secara legal, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog setidaknya melakukan
upaya pemberian penjelasan, mendapatkan persetujuan, dan mendapatkan izin dari
pihak yang berwenang mewakili peserta riset, atau menggantinya dengan bentuk
lain (formal) jika memang ada pengganti consent yang diatur menurut
hukum. Informed consent tidak diperlukan untuk penelitian yang
menggunakan kuesioner anonim, pengamatan alamiah, dan sejenisnya. Meskipun
demikian setidaknya Ilmuwan Psikologi dan Psikolog berusaha mengikuti aturan
yang berlaku dan mengkonsultasikannya dengan badan yang berwenang, atau membicarakannya
dengan kolega.
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog menguraikan tentang riset yang akan
dilakukannya kepada peserta riset dengan menggunakan bahasa dan istilah yang
bisa dipahami calon peserta/peserta penelitian. Termasuk dalam uraian ini
adalah asas kesediaan yang menyatakan bahwa kesertaan dalam penelitian bersifat
sukarela, sehingga memungkinkan untuk mengundurkan diri atau menolak
dilibatkan. Dalam hal ini kepada calon/peserta penelitian dijelaskan
faktor-faktor yang signifikan, yang mungkin terjadi dan bisa mempengaruhi
keputusan mereka untuk ikut atau tidak, baik sejak awal maupun ketika
penelitian berlangsung. Faktor-faktor tersebut adalah kemungkinan adanya
risiko, ketidaknyamanan, efek merugikan, atau keterbatasan dalam menjaga
kerahasiaan. Lamanya keterlibatan dalam penelitian, terutama untuk riset yang
dilakukan dalam jangka panjang termasuk dalam uraian yang harus dijelaskan
kepada peserta riset. Asas kesediaan yang yang harus dipenuhi dalam pelibatan
peserta riset adalah ketentuan untuk tidak membujuk atau memberikan pancingan
dalam upaya menarik minat agar peserta mau dilibatkan. Ilmuwan Psikologi dan
Psikolog tidak memberikan imbalan dalam bentuk uang atau lainnya yang bisa
ditafsirkan sebagai keterpaksaan. Penjelasan kepada peserta riset tentang studi
yang dilakukan merupakan peluang kepada peserta untuk mendapatkan informasi
yang benar tentang situasi, hasil, dan kesimpulan penelitian. Dalam hal ini
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog perlu memperhatikan agar tidak terjadi pemahaman
konsep yang keliru dari peserta. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak melakukan
riset yang menggunakan cara-cara yang dapat dianggap sebagai kecurangan atau
bersifat mengelabui, kecuali hal itu memang diperlukan untuk kepentingan
pengembangan ilmu, baik untuk kepentingan pendidikan atau kepentingan ilmiah
lainnya, yang tidak mungkin dilakukan tanpa cara tersebut.
Pada pelaksanaan riset yang melibatkan mahasiswa atau orang yang
dibimbingnya, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog melakukan sesuatu yang diperlukan
untuk melindungi kesertaan yang sifatnya mengikat. Untuk riset yang berlangsung
lama dan mengambil waktu, seperti mengikuti pelatihan terlebih dulu, Ilmuwan
Psikologi dan Psikolog harus memberikan pilihan kepada mahasiswa atau orang
yang dibimbingnya agar dapat tetap melakukan kegiatannya dan dapat memperoleh
biaya hidup yang diperlukannya.
Apabila dalam pelaksanaan riset dilakukan pengambilan rekaman, baik dalam
bentuk audio maupun visual, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog perlu mendapatkan
izin dari peserta riset sebelum memfilmkan atau merekam dalam bentuk apapun.
Ketentuan ini dikecualikan untuk hal-hal yang sifatnya alamiah atau diambil di
lokasi publik yang terbuka, dengan tetap menghiraukan kaidah dan etika untuk
tidak sampai memunculkan identitas tertentu atau khusus yang bisa dikenali.
Dalam hal pemanfaatan dan penyebarannya, sehubungan dengan publikasi hasil
penelitian, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog menginformasikan kepada peserta
riset, dengan tujuan agar peserta riset membantunya dalam mengantisipasi
berbagai kemungkinan di masa mendatang, misalnya kemungkinan pemunculan
identitas atau hasil riset untuk berbagai kepentingan lainnya.
Dalam kaitan dengan upaya meminimalkan pelanggaran dalam melaksanakan
penelitian, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog berinteraksi dengan peserta
penelitian, atau pihak lain, di lingkungan tempat pengambilan data, hanya dalam
hal yang sesuai dengan rancangan desain studi, yang konsisten dengan peran
psikolog sebagai peneliti ilmiah. Apabila riset yang dilakukan secara ilmiah
menuntut tidak dibukanya informasi karena alasan kemanusiaan, Ilmuwan Psikologi
dan Psikolog bertanggung jawab untuk mencari pengukuran lain yang bisa
menurunkan atau mengurangi risiko.
7.2.3. Penggunaan hewan dalam penelitian
Apabila dalam penelitian yang dilakukan menggunakan hewan sebagai obyek
riset, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog diharapkan dapat memperlakukan hewan
tersebut dengan baik. Mereka diharapkan mengikuti aturan profesional maupun
aturan hukum kenegaraan dalam mendapatkan, merawat, memanfaatkan, dan membuang
hewan yang digunakan sesuai dengan standar yang berlaku. Ilmuwan Psikologi dan
Psikolog yang melakukan penelitian dengan menggunakan hewan harus sudah
terlatih dan mendapat sertifikat khusus, yang memungkinkannya untuk
memperlakukan hewan tersebut dengan baik. Mereka juga meyakinkan bahwa dalam
memimpin kegiatan tersebut ia telah memberikan penjelasan kepada semua anggota
tim yang terlibat, baik mengenai riset itu sendiri maupun dalam hal perawatan
hewan dan perlakuan yang baik, sebatas keperluan penelitian dan bersifat
konsisten, sesuai dengan kemampuannya.
Penggunaan hewan dalam riset yang dilakukan harus disertai dengan upaya
untuk meminimalkan rasa tidak enak, sakit, infeksi, atau penyiksaan yang
menimpa hewan yang digunakan dalam penelitian. Diperlukan prosedur yang jelas
untuk dapat menangani seberapa jauh hewan itu “boleh” disakiti, atau merasa
tertekan, atau privasi untuk menghindarkan perlakuan semena-mena. Perlakuan
yang menyakiti itu hanya bisa diterima sejauh memang diperlukan untuk pembuktian
ilmiah yang diperlukan untuk tujuan perkembangan pendidikan, pengembangan ilmu,
atau terapan lainnya.
Apabila dalam prosedur penelitian diperlukan pembedahan yang diperlukan
sesuai prosedur dilakukan di bawah pembiusan, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog melakukannya
dengan menggunakan metoda untuk menghilangkan rasa sakit, atau minimal dapat
mengurangi rasa sakitnya selama ataupun sesudahnya. Seandainya harus mengakhiri
hidup hewan tersebut maka harus dilakukan dalam waktu yang sangat cepat, dengan
upaya untuk meminimalkan rasa sakit, dan sejalan dengan prosedur yang bisa
diterima menurut aturan dan hukum. Dalam hal ini Ilmuwan Psikologi dan Psikolog
bekerjasama dengan pihak yang berwenang (dokter hewan).
7.2.4. Menghormati hak dalam melaksanakan kegiatan di bidang forensik
Ilmuwan yang bertugas di bidang forensik, yang dalam tugasnya bisa meliputi
kegiatan asesmen, wawancara, konsultasi, laporan, atau kesaksian ahli, harus
mendasarkannya pada kode etik, terutama berkenaan dengan pengetahuan yang
sesuai, khusus untuk bidang ini, termasuk keterbatasan wilayah yang bisa
ditekuninya. Temuan, rekomendasi, laporan hasil yang diperoleh berdasarkan
informasi dan cara memperolehnya, termasuk wawancara (sejauh memungkinkan)
harus dipastikan mempunyai makna yang bisa dipertanggungjawabkan menurut
keahliannya.
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog memberikan laporan tertulis atau lisan
mengenai hasil penemuan forensiknya, atau membuat pernyataan dari karakter
psikologis seseorang, hanya sesudah dia melakukan pemeriksaan terhadap pribadi
yang bersangkutan untuk mendukung pernyataannya atau kesimpulannya. Bila tidak
diperlukan pemeriksaan karena keadaannya tidak memungkinkan, Ilmuwan Psikologi
dan Psikolog mengklarifikasikan pengaruh atau dampak dari keterbatasan
informasi yang dapat dipercaya dan validasi dari pernyataan yang dibuat, serta
membatasi pengaruh lingkungan dari kesimpulan atau rekomendasi yang dibuatnya.
Klarifikasi peran harus jelas sejak awal keterlibatan. Ilmuwan Psikologi
dan Psikolog menghindar untuk melakukan peran ganda dalam hal forensik, apalagi
yang dapat menimbulkan konflik. Ketika mereka diminta membantu dengan berperan
ganda, yang melibatkan diri pada lebih dari satu prosedur yang legal, misalnya
sebagai konsultan atau ahli untuk satu pihak dan menjadi saksi di pengadilan,
ketegasan peran harus dijelaskan supaya sesuai harapan. Kalaupun harus berperan
ganda, kejelasan masing-masing peran diperlukan untuk menjaga kerahasiaan sejak
awal, sehingga ketika perannya berganti dapat dilakukan secara jelas. Hal ini
diperlukan untuk mencegah kompromi antara penilaian sebagai profesional dan
obyektivitas dalam posisi sebagai saksi, serta mencegah kesalahpahaman pihak
lain sehubungan dengan peran gandanya.
Kepercayaan
dan keterusterangan dalam membuat pernyataan forensik dan laporan perlu
perhatian khusus dalam terapannya. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog memang harus
membuatnya secara jujur, tulus, terpercaya, dan terus terang, konsisten dengan
prosedur yang berlaku, menguraikan secara adil berdasarkan pernyataan kesaksian
dan kesimpulan. Namun, apabila diperlukan untuk mencegah kesalahpahaman,
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog hanya mengumumkan data atau konklusinya secara
terbatas.
Adanya
hubungan profesional yang terjalin sebelumnya dengan klien tidak akan
menghalangi Ilmuwan Psikologi dan Psikolog untuk memberi kesaksian (sebagai
saksi), atau ketika harus menyampaikan pendapatnya selaku ahli yang memberikan
pemeriksaan, sejauh memang diizinkan oleh aturan hukum yang berlaku. Dalam hal
ini Ilmuwan Psikologi dan Psikolog mencari jalan untuk mencegah pengaruh
hubungan tersebut agar tetap bisa bersikap profesional dalam memberikan
pendapat, dan menjaga kemungkinan terjadinya konflik antara pihak.
Dalam kaitan
dengan pemenuhan aturan hukum, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog yang melaksanakan
tugas forensiknya tahu aturan hukum yang berlaku. Mereka menyadari adanya
kemungkinan konflik antara kebutuhan untuk menyampaikan pendapat dan keharusan
mengikuti aturan hukum yang ditetapkan dalam kasus di pengadilan sesuai dengan
sistem yang berlaku. Mereka berusaha menyelesaikan konflik ini dengan
menunjukkan komitmen terhadap kode etik dan mengambil langkah-langkah untuk
mengatasi konflik ini dalam cara-cara yang bisa diterima.
Ilmuwan
Psikologi dan Psikolog mmpunyai kewajiban untuk memahami kode etik, /
penjelasan kode etik, dan terapannya dlm pelaksanaan tugas mereka. Kurang
dipahaminya kode etik ini tdk dpt dijadikan alasan u/ mmpertahankn diri ketika
mlakukn pelanggaran.
Pasal 8 : SIKAP PROFESIONAL DAN PERLAKUAN TERHADAP PEMAKAI JASA ATAU KLIEN
8.1. Pasal 8 a: Mengutamakan Dasar-Dasar Profesional.
8.1.1. Sikap Profesional
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog senantiasa mengandalkan pada pengetahuan
yang diperoleh secara ilmiah dan profesional sebagai dasar penilaian ilmiah dan
profesional dalam terapan ilmunya, atau ketika melakukan kegiatan pendidikan
dan kegiatan profesional lainnya. Sikap mendasarkan penilaian ilmiah dan
profesional ini menunjukkan pertanggungjawaban dalam melaksanakan profesinya.
Sikap profesional juga ditandai dari perilaku mempertahankan dan
meningkatkan keahlian. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog yang terlibat dalam
asesmen, terapi, pengajaran, penelitian, konsultasi organisasi / kegiatan
profesional lainnya harus mempertahankan dan meningkatkan derajat keilmuannya.
Upaya mempertahankan dan meningkatkan tersebut dilakukan sewajarnya, dengan
tujuan agar senantiasa terpapar atas informasi ilmiah dan profesional paling
mutakhir di dalam bidang kegiatan mereka. Upaya tersebut menceminkan sikap
kesediaan mempertahankan keahlian mereka secara bertanggung jawab dalam terapan
di bidang yg mereka tekuni.
8.1.2. Perlakuan Terhadap Pemakai Jasa atau Klien
Dalam kegiatannya, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog menghargai hak orang lain
dalam memegang nilai, sikap dan pendapat mereka yg berbeda dari yang dimiliki
oleh Ilmuwan Psikologi dan Psikolog yg bersangkutan. Ilmuwan Psikologi dan
Psikolog hendaknya menyadari perlakuan atau tindakan yg dilakukan terhadap
pemakai jasa atau kliennya, termasuk kemampuan menyadari adanya masalah dan
konflik pribadi yang dapat mempengaruhi kinerjanya. Pengutamaan obyektivitas,
kejujuran, dan sikap yg menjunjung tinggi integritas serta norma-norma
keahliannya, termasuk menyadari konsekuensi tindakannya, mencakup hal-hal
sebagaimana diuraikan berikut ini.
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog menyadari bahwa masalah dan konflik pribadi
mereka bisa mempengaruhi efektifitas kerja mereka. Dalam hal ini Ilmuwan
Psikologi dan Psikolog mampu menahan diri dari tindakan mereka yang dapat
merugikan pasien, klien, kolega, mahasiswa, peserta penelitian, pribadi atau
pihak lain sebagai akibat pengaruh masalah dan konflik pribadi tersebut.
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog berkewajiban untuk waspada terhadap tanda-tanda
adanya masalah dan konflik pribadi tersebut dan mencari bantuan pada tahap yang
sangat awal sebagai upaya menghindari gangguan yang signifikan terhadap
prestasi kerja mereka. Dalam hal Ilmuwan Psikologi dan Psikolog menyadari bahwa
masalah dan konflik pribadi mereka dapat mempengaruhi tugas atau kinerjanya,
maka mereka melakukan usaha yang sesuai, seperti mencari bantuan atau
konsultasi profesional, dan menetapkan apakah mereka sebaiknya membatasi,
menunda, atau menghentikan tugas-tugas yang berhubungan dengan profesi mereka
tersebut.
8.2. Pasal 8 b: Memberikan jasa/praktik kepada semua pihak yang
membutuhkannya.
Dalam kegiatan pekerjaannya, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tdk terlibat
dlm perilaku diskriminasi yg menimbulkan rasa ketidakadilan, yang didasarkan
pada usia, gender, ras, suku, bangsa, agama, orientasi seksual, kecacatan,
status sosial ekonomi, atau dasar-dasar lain yg dilarang oleh hukum. Ilmuwan
Psikologi dan Psikolog mengutamakan ketidakberpihakan dlm kepentingan pemakai
jasa atau klien dan pihak-pihak yg terkait dlm pemberian pelayanan tersebut.
Sikap ini ditandai dgn kejelasan mengenai prosedur, manfaat, dan bentuk /
besarnya imbalan jasa yg diterima dari pemberian jasa/praktik psikologi oleh
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog.
8.2.1.
Penerimaan imbalan jasa
- Pada awal terjadinya hubungan profesional atau ilmiah, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog sudah mencapai kesepakatan yang menjabarkan mengenai kompensasi dan pengaturan penagihan.
- Ilmuwan Psikologi&Psikolog tdk mngeksploitasi pnerima jsa mrka / mereka yg membiayai jasa mereka shubungn dgn pembiayaan.
- Biaya praktik Ilmuwan Psikologi dan Psikolog haruslah konsisten dengan hukum yang berlaku.
- Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak salah mempresentasikan biaya yang mereka kenakan.
- Bila keterbatasan perolehan jasa dapat diantisipasi karena adanya keterbatasan pembiayaan, hal ini dibicarakan dengan klien, atau penerima jasa lainnya sedini mungkin.
- Bila klien, atau penerima jasa Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak membayar sesuai kesepakatan, dan ilmuwan psikologi atau psikolog tersebut berkeinginan menggunakan jasa kolektor atau cara hukum untuk memperoleh pembayaran tersebut, pertama-tama mereka harus memberitahu pribadi yang bersangkutan, bahwa tindakan tersebut akan diambil, dan memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan untuk melakukan pembayaran segera. Kaitan dengan permasalahan ini juga harus disampaikan sejak awal, misalnya tidak akan menyampaikan hasil pemeriksaan sebelum dilakukannya pembayaran sesuai kesepakatan.
- Laporan yg dibuat Ilmuwan Psikologi dan Psikolog kepada pihak yg menjadi sumber pembiayaan bagi jasa/praktik yg telah dilakukan memuat penjelasan tentang sifat jasa/praktik yg diberikan dan biaya yg dikenakan. Bila diperlukan dapat dicantumkan identitas pmberi jasa, hasil kerja, diagnosis, sesuai kondisi dan kebutuhannya, sejauh tidak menyalahi aturan / ketentuan yg berlaku, baik menurut etika maupun menurut hukum. Dalam hal ini perlu diperhatikan unsur kerahasiaan yg harus dijaga dan dihormati.
- Dalam hal rujukan dan biaya, bila Ilmuwan Psikologi dan Psikolog membayar, menerima pembayaran dari, atau membagi pembayaran dengan profesional lain terkecuali dalam hubungan karyawan-majikan, pembayaran pada masing-masing didasarkan pada jasa yang diberikan (klinis, konsultasi, administratif, atau lainnya), dan tidak didasarkan pada perujukan itu sendiri.
8.2.2.
Penerimaan imbalan jasa yang berpotensi menimbulkan konflik
Ilmuwan
Psikologi dan Psikolog menahan diri dari menerima barang, jasa atau remunerasi
non-moneter lainnya dari pasien atau klien sebagai imbalan atas jasa yg
diberikannya, sebab berpotensi menciptakan konflik, eksploitasi, dan distorsi
atas hubungan profesional. Penerimaan imbalan jasa dpt dilakukan hanya bila
tidak trdpt kontra indikasi secara klinis dan hubungan tersebut tidak bersifat
eksploitasi.
8.3. Pasal 8
c: Melindungi klien atau pemakai jasa dari akibat yang merugikan sebagai dampak
jasa/praktik yang diterimanya.
8.3.1.
Perbedaan Manusia.
Ada
kemungkinan dlm memberikan jasa/praktik dialami adanya perbedaan usia, gender
(jenis kelamin), ras, etnis (suku), kebangsaan, agama, orientasi seksual,
kecacatan, bahasa, / status sosial ekonomi, yg secara signifikan mempengaruhi
pekerjaan Ilmuwan Psikologi dan Psikolog mengenai individu / kelompok individu
tertentu. Dlm hal ini Ilmuwan Psikologi dan Psikolog berupaya untuk mndapatkn
pelatihan, tambahan pengalaman, konsultasi / penyeliaan yang diperlukan.
Tujuannya adalah untuk memastikan kemampuan mereka dalam memberikan jasa
tersebut, / memberikan rujukan sesuai keperluan.
8.3.2.
Penyalahgunaan Pengaruh Keahlian Psikologi
Dalam
melakukan penilaian dan tindakan ilmiah dan profesionalnya, Ilmuwan Psikologi
dan Psikolog dapat mempengaruhi kehidupan orang lain. Kondisi ini diwaspadai
dengan cara berhati-hati terhadap faktor pribadi, keuangan, sosial, organisasi,
atau politis yang dapat mengarah pada penyalahgunaan pengaruh mereka sebagai
ilmuwan psikologi atau psikolog.
8.3.3.
Pelecehan Seksual
Dalam
terapan keilmuannya, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak terlibat dalam
pelecehan seksual. Tercakup dalam pengertian ini adalah permintaan hubungan
seks, cumbuan fisik, atau perilaku verbal atau non-verbal yang bersifat
seksual, yang terjadi dalam kaitannya dengan kegiatan atau peran sebagai
ilmuwan dan psikolog. Pelecehan seksual dapat terdiri dari satu perilaku
intens/parah atau beberapa perilaku yang bertahan/sangat meresap.
Perilaku yang dimaksud dalam pengertian ini adalah tindakan atau perbuatan
yang dianggap:
- Tidak dikehendaki, tidak sopan, dapat menimbulkan sakit hati, atau menciptakan lingkungan kerja yang mengandung permusuhan, yang dalam hal ini Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tahu atau diberitahu mengenai hal tersebut; atau
- Bersikap keras atau cenderung menjadi kejam/menghina terhadap seseorang dalam konteks tersebut.
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog memperhatikan harga diri dan kehormatan
penerima perlakuan pelecehan seksual tersebut. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog
tidak terlibat dalam tindakan mengabaikan kelanjutan pendidikan, pekerjaan,
masa kerja atau promosi yang didasarkan semata-mata karena mereka melakukan
tindakan atau menjadi korban tindakan tuduhan pelecehan seksual. Hal ini tidak
menghalangi pengambilan langkah-langkah yang didasarkan pada hasil penelitian
terhadap informasi-informasi lain.
8.3.4. Pelecehan Lain
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak secara sadar terlibat dalam perilaku
yang melecehkan atau meremehkan individu yang berinteraksi dengan mereka dalam
pekerjaan mereka, baik atas dasar usia, gender, ras, suku, bangsa, agama,
orientasi seksual, kecacatan, bahasa atau status sosial-ekonomi.
8.3.5. Hubungan yang mengandung unsur eksploitasi
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak melakukan hal-hal yang dianggap
mengandung unsur eksploitasi, yaitu:
- Pemanfaatan atau eksploitasi terhadap pribadi yang sedang mereka supervisi, evaluasi, atau berada di bawah wewenang mereka, seperti mahasiswa, karyawan, peserta penelitian, klien, pasien ataupun mereka yang berada di bawah penyeliaannya.
- Terlibat dalam hubungan seksual dengan mahasiswa atau mereka yang berada di bawah bimbingan mereka di mana Ilmuwan Psikologi dan Psikolog memiliki wewenang evaluasi atau otoritas langsung, karena hubungan seperti itu akan sangat cenderung mempengaruhi penilaian mereka atau menjadi eksploitatif.
8.4. Pasal 8 d: Mengutamakan ketidakberpihakan dalam kepentingan pemakai
jasa atau klien dan pihak-pihak yang terkait dalam pemberian pelayanan tersebut.
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog mengutamakan ketidakberpihakan dalam
kepentingan pemakai jasa atau klien dan pihak-pihak yang terkait dalam
pemberian pelayanan tersebut. Sikap ini ditandai dengan kejelasan mengenai
prosedur, manfaat, dan bentuk atau besarnya imbalan jasa yang diterima dari
pemberian jasa/praktik psikologi oleh Ilmuwan Psikologi dan Psikolog.
8.4.1.
Penerimaan imbalan jasa
- Pada awal terjadinya hubungan profesional atau ilmiah, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog sudah mencapai kesepakatan yang menjabarkan mengenai kompensasi dan pengaturan penagihan.
- Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak mengeksploitasi penerima jasa mereka atau mereka yang membiayai jasa mereka sehubungan dengan pembiayaan.
- Biaya praktik Ilmuwan Psikologi dan Psikolog haruslah konsisten dengan hukum yang berlaku.
- Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak salah mempresentasikan biaya yang mereka kenakan.
- Bila keterbatasan perolehan jasa dapat diantisipasi karena adanya keterbatasan pembiayaan, hal ini dibicarakan dengan pasien, klien, atau penerima jasa lainnya sedini mungkin.
- Bila pasien, klien, atau penerima jasa Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak membayar sesuai kesepakatan, dan ilmuwan psikologi atau psikolog tersebut berkeinginan menggunakan jasa kolektor atau cara hukum untuk memperoleh pembayaran tersebut, pertama-tama mereka harus memberitahu pribadi yang bersangkutan, bahwa tindakan tersebut akan diambil, dan memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan untuk melakukan pembayaran segera. Kaitan dengan permasalahan ini juga harus disampaikan sejak awal, misalnya tidak akan menyampaikan hasil pemeriksaan sebelum dilakukannya pembayaran sesuai kesepakatan.
- Laporan yang dibuat Ilmuwan Psikologi dan Psikolog kepada pihak yg menjadi sumber pembiayaan bagi jasa/praktik yg tlah dilakukn memuat penjelasan tntng sifat jasa/praktik yg diberikan dan biaya yg dikenakan. Bila diperlukan dpt dicantumkan identitas pemberi jasa, hasil kerja, diagnosis, sesuai kondisi dan kebutuhannya, sejauh tdk menyalahi aturan atau ketentuan yang berlaku, baik menurut etika maupun menurut hukum. Dalam hal ini perlu diperhatikan unsur kerahasiaan yang harus dijaga dan dihormati.
- Dalam hal rujukan dan biaya, bila Ilmuwan Psikologi dan Psikolog membayar, menerima pembayaran dari, atau membagi pembayaran dengan profesional lain terkecuali dalam hubungan karyawan-majikan, pembayaran pada masing-masing didasarkan pada jasa yang diberikan (klinis, konsultasi, administratif, atau lainnya), dan tidak didasarkan pada perujukan itu sendiri.
8.4.2.
Penerimaan imbalan jasa yang berpotensi menimbulkan konflik
Ilmuwan
Psikologi dan Psikolog menahan diri dari menerima barang, jasa atau remunerasi
non-moneter lainnya dari pasien atau klien sebagai imbalan atas jasa yg
diberikannya, sebab berpotensi menciptakan konflik, eksploitasi, dan distorsi
atas hubungan profesional. Penerimaan imbalan jasa dpt dilakukan hanya bila tdk
trdpat kontra indikasi secara klinis dan hubungan tersebut tidak bersifat
eksploitasi.
8.5. Pasal 8
e: Dalam hal pemakai jasa atau klien yang menghadapi kemungkinan akan terkena
dampak negatif yang tidak dapat dihindari akibat pemberian jasa/praktik
psikologi yang dilakukan oleh Ilmuwan Psikologi dan Psikolog maka pemakai jasa
atau klien tersebut harus diberitahukan tentang kemungkinan-kemungkinan tersebut.
Untuk
menghindari kerugian di pihak pasien, klien, peserta penelitian, mahasiswa, dan
orang atau pihak lain yang terlibat dalam pekerjaan mereka, dan meminimalkan
kerugian bila sudah diduga akan terjadi dan tak dapat dihindari, Ilmuwan
Psikologi dan Psikolog melakukan langkah-langkah yang sewajarnya
Pasal 9 ASAS KESEDIAAN
9.1. Membangun hubungan dalam terapi.
Dalam pemberian terapi, keputusan untuk melaksanakannya dan proses yang
akan dijalani, tujuan yang ingin dicapai, dan keterlibatan pihak yang dianggap
terkait, perkiraan jalannya terapi, biaya, dan kerahasiaan dibicarakan bersama
dengan klien atau pasien sejak awal. Kalau terapi tersebut akan dilakukan di
bawah bimbingan atau supervisi, hendaknya dibicarakan sejak sebelum
dilakukannya terapi. Nama pihak yang melakukan supervisi, kepentingannya,
keterlibatannya dan tanggung jawabnya menurut ketentuan etika dan hukum yang
berlaku untuk kasus tersebut disampaikan kepada klien atau pasien. Kalau
terapisnya adalah mahasiswa yang sedang magang, klien diberi tahu mengenai
status tersebut.
Dalam pemberian terapi kepada klien, Psikolog menunjukkan kesediaan
menjawab pertanyaannya. Sikap ini penting untuk menghindari kesalahpahaman
dalam proses terapi. Kalau diperlukan dan keadaannya memungkinkan, Psikolog
menyediakan informasi lisan atau tertulis, dengan menggunakan bahasa dan
istilah yang dipahami oleh pasien atau klien.
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak terlibat langsung atau melalui
perantara, dalam permintaan bisnis yang tidak diundang dari pasien atau klien
psikoterapi, baik yang aktual maupun potensial atau orang lain yang karena
lingkungan khusus mereka rawan terhadap pengaruh yang tidak diinginkan. Akan
tetapi, hal ini tidak termasuk mencoba untuk melaksanakan kontak yang sesuai
dengan orang lain yang signifikan untuk tujuan menguntungkan si klien yang
sudah terlibat dalam terapi.
9.2. Izin untuk terapi
Pemberian terapi psikologis harus memperoleh izin sesuai prosedur. Dalam
usaha memperoleh izin tersebut, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog menggunakan
bahasa dan istilah yang dapat dipahami peserta. Isi yang tercantum dalam
pemberian izin tersebut dapat bervariasi karena tergantung pada banyak hal.
Akan tetapi, secara umum izin menunjukkan bahwa individu atau pihak yang
dimintakan izin tersebut telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
- mempunyai kemampuan untuk menyatakan persetujuan
- telah diberitahu informasi yang signifikan mengenai prosedur
- secara bebas dan tanpa dipengaruhi menyatakan persetujuan
- persetujuan/izin didokumentasikan sesuai prosedur yang tetap.
Dalam hal
pihak yg dimintakan izin secara hukum ternyata tidak mampu memberi izin,
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog dpt memintakan izin dari orang / pihak yang
secara hukum mempunyai otoritas, sejauh prosedur tersebut dapat diterima dan
diizinkan oleh hukum.
Semua bentuk
intervensi yang dilakukan dalam terapi tetap diberitahukan oleh Ilmuwan
Psikologi dan Psikolog, meskipun terhadap orang-orang yg secara hukum tidak
mampu memberikan izin tentang intervensi yang disarankan. Pemberitahuan
tersebut dilakukan dengan cara yang sesuai dengan kemampuan psikologis orang
tersebut untuk dpt memahaminya dengan benar. Maksud pemberitahuan adalah untuk
dapat memperoleh persetujuan dilakukannya intervensi dan mempertimbangkan
pilihan dan kepentingan orang tersebut.
9.3. Hubungan
dengan klien dalam kondisi sebagai pasangan dan keluarga
a) Apabila
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog setuju untuk memberikan jasa pada beberapa orang
yang mempunyai hubungan (seperti suami dan istri atau orang tua dan anak)
mereka berusaha menjelaskan berdasarkan penilaiannya, yaitu yang mana dari
individu-individu tersebut adalah klien dan hubungan antara terapis dengan
masing-masing pihak. Ketentuan ini mencakup peran dan tanggung jawab Ilmuwan
Psikologi dan Psikolog dan kemungkinan penggunaan jasa yang disediakan atau
informasi yang diperoleh. Dalam hal ini
perlu diperhatikan kaitannya dengan faktor kerahasiaan yang harus dijaga.
b) Hubungan dgn pasangan dan keluarga secara potensial membuka kemungkinan
terjadinya konflik dengan beberapa pihak. Sebagai konselor perkawinan yang
dilakukan pada suami istri, bisa saja kemudian menjadi saksi untuk salah satu
pihak dlm proses perceraian mereka. Dlm hal ini konselor harus melakukan
klarifikasi perannya dan menyesuaikan, / menarik diri dari situasi tersebut.
9.4. Memberikan pelayanan kepada klien yang sudah dilayani sejawat
Dalam kondisi dan situasi tertentu mungkin Ilmuwan Psikolog dan Psikolog
harus menentukan, apakah akan menerima permintaan klien yang sebelumnya sudah
mengikuti terapi dari sejawat lainnya. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog secara
hati-hati mempertimbangkan permintaan ini terutama ditinjau dari sudut
kesejahteraan calon klien tersebut. Mereka dapat membahas kondisi ini dengan
klien, atau orang/pihak yang secara sah mempunyai otoritas atas nama klien. Hal
ini dimaksudkan untuk mengurangi resiko timbulnya kerancuan dan konflik.
Berkonsultasi dengan penyedia jasa lainnya dapat pula dilakukan. Bersikap
hati-hati dan menyadari kepekaan situasinya sangat penting, terutama berkaitan
dengan kemungkinan timbulnya kesan ‘menyabot’ atau ‘berebut lahan’.
9.5. Kondisi yang tidak disarankan untuk melakukan hubungan terapetik
- Kalau psikolog mempunyai keakraban seksual dgn klien pada saat rencana pemberian terapi, maka hub terapetik tdk bisa dilakukan.
- Ilmuwan Psikologi dan Psikolog juga disarankan tidak menerima klien untuk keperluan terapi bagi orang yang pernah menjadi pasangan seksualnya.
- Ilmuwan Psikologi dan Psikolog hendaknya tidak terlibat dalam keakraban seksual dengan mantan klien-nya. Akan tetapi bila setelah konsultasi berakhir dan ternyata keduanya saling mencintai, pengembangan hubungan tersebut dapat saja dilakukan. Dalam hal ini diharapkan pengembangan hubungan itu terjadi dalam waktu sedikitnya dua tahun setelah berakhirnya jasa profesional.
Ketentuan untuk tidak melakukan hubungan profesional dengan mantan klien
yang memiliki keakraban seksual didasarkan pada pertimbangan bahwa hal tersebut
sering kali sangat merugikan klien. Selain itu juga dapat menurunkan
kepercayaan masyarakat pada profesi psikologi, yang kemudian bisa menghambat
penggunaan jasa yang diperlukan masyarakat. Dalam kaitan inilah Psikolog
diminta untuk tidak terlibat dalam keakraban seksual dengan mantan klien
terapi, bahkan setelah interval dua tahun, kecuali dalam keadaan yang luar
biasa. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog yang terlibat dalam aktivitas seperti itu
dalam waktu dua tahun setelah berakhirnya terapi dapat menanggung beban, antara
lain harus menunjukkan bahwa tidak ada eksploitasi.
Pemberian
terapi mungkin dapat dilakukan setelah mempertimbangkan semua faktor, antara
lain:
- jumlah waktu yang telah berlalu sejak berakhirnya terapi
- sifat dan lamanya terapi
- penyebab berakhirnya terapi
- sejarah pribadi klien
- status mental klien saat ini
- kemungkinan akibat negatif pada klien dan lainnya
- setiap pernyataan atau tindakan yang dibuat terapis selama proses terapi yang mengusulkan atau mengundang kemungkinan hubungan romantis atau seksual dengan klien sesudah berakhirnya terapi.
9.6. Pengalihan dan Penghentian Pelayanan/Jasa.
- Ilmuwan Psikologi dan Psikolog senantiasa menyadari pentingnya perencanaan kegiatannya dan berusaha menyiapkan langkah-langkah yang perlu dilakukan, bila terjadi hal-hal yang dapat menyebabkan penanganan tugasnya mengalami interupsi atau terpaksa harus dihentikan, atau dialihkan kepada pihak lain (sejawat, rujukan). Menderita sakit, kematian, ketidakmampuan karena satu dan lain hal yang dialami oleh Ilmuwan Psikologi dan Psikolog, atau klien pindah ke kota lain, atau adanya keterbatasan dalam kemampuan memberikan imbalan jasa adalah alasan yang bisa terjadi.
- Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak mengikat klien yang menyebabkannya sangat tergantung hanya pada mereka.
- Ilmuwan Psikologi dan Psikolog menghentikan hubungan profesional dengan klien ketika kondisi dan situasinya menunjukkan bahwa klien tersebut tidak lagi membutuhkan pelayanan jasa/praktik psikologi, atau tidak merasakan manfaatnya, atau diperkirakan mengalami hal-hal yang menyakitkan atau merugikan jika diteruskan.
- Sebelum dihentikannya hubungan profesional tersebut dengan alasan apapun, kecuali klien menghalanginya, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog membahasnya bersama klien tentang alasan dan kondisi atau situasi yang dihadapi, kebutuhannya, dan menyarankan alternatif lain yang bisa dipilih klien serta membantunya dalam proses rujukan sesuai prosedur terutama bila klien memerlukannya segera.
Pasal 10
INTERPRETASI HASIL PEMERIKSAAN
Hal-hal
berikut ini perlu diperhatikan oleh Psikolog yang melakukan interpretasi hasil
pemeriksaan, yaitu menjabarkan sifat dan hasil dari jasa/praktik psikologis
yang dilakukan. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog perlu memberikan informasi
tentang pelaksanaan tugasnya, baik dalam hal telaah kebutuhan (asesmen),
evaluasi, konseling, terapi, penyeliaan, pendidikan, konsultasi, penelitian
atau jasa psikologis lainnya terhadap seorang individu, sekelompok orang atau
organisasi. Dalam menyampaikan informasi
tersebut digunakan bahasa dan istilah yang bisa dipahami pihak yang dibantu.
Bila pemberian informasi tersebut tidak dapat dilakukan karena alasan hukum
atau aturan organisasi, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog harus menyampaikannya
sejak awal.
Pasal 11 PEMANFAATAN DAN PENYAMPAIAN HASIL PEMERIKSAAN
Pemanfaatan hasil pemeriksaan dilakukan dengan memperhatikan ketentuan yang
berlaku dalam praktik psikologi. Penyampaian hasil pemeriksaan psikologik
diberikan dalam bentuk dan bahasa yang dipahami klien atau pemakai jasa.
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak berpartisipasi dalam kegiatan yang
menunjukkan kemungkinan bahwa keterampilan atau data mereka disalahgunakan oleh
orang lain, kecuali tersedia mekanisme untuk memperbaikinya. Apabila mereka
mengetahui adanya penyalahgunaan atau salah representasi dari karya mereka,
maka Ilmuwan Psikologi dan Psikolog perlu mengambil langkah-langkah untuk
mengkoreksi atau meminimalkan penyalahgunaan atau salah representasi tersebut.
Pasal 12 KERAHASIAAN DATA DAN HASIL PEMERIKSAAN
12.1.
Pencatatan dan Data
- Ilmuwan Psikologi dan Psikolog membuat, menyimpan (mengarsipkan), menjaga, memberikan catatan dan data yang berhubungan dengan penelitian, praktik, dan karya lain sesuai dengan hukum yang berlaku dan dalam cara yang memungkinkan kepatuhan pada prasyarat yang ditetapkan oleh kode etik ini.
- Ilmuwan Psikologi dan Psikolog membuat dokumentasi atas karya profesional dan ilmiah mereka untuk memudahkan pemberian jasa mereka di kemudian hari oleh mereka sendiri atau oleh profesional lainnya; serta guna memastikan pertanggungjawaban dan untuk memenuhi prasyarat yang ditetapkan oleh institusi ataupun hukum.
- Apabila Ilmuwan Psikologi dan Psikolog mempunyai alasan untuk menduga bahwa catatan atau data mengenai jasa profesional mereka akan digunakan untuk keperluan hukum, yang melibatkan penerima atau partisipan jasa mereka, maka Ilmuwan Psikologi dan Psikolog bertanggung jawab untuk membuat dan mempertahankan dokumentasi dalam rincian dan kualitas yang menunjukkan konsistensi seandainya nanti diteliti dengan cermat dalam forum hukum.
- Ilmuwan Psikologi dan Psikolog menjaga kerahasiaan klien dalam urusan pencatatan, penyimpanan, pemindahan, dan pemusnahan catatan/data di bawah pengawasannya, yang bisa dalam bentuk tertulis atau lainnya. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog menjaga dan memusnahkan catatan dan data, dengan memperhatikan kaidah hukum atau perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan pelaksanaan kode etik ini.
12.2.
Kerahasiaan Data
Ilmuwan
Psikologi dan Psikolog wajib memegang teguh rahasia yang menyangkut klien atau
pemakai jasa psikologi dalam hubungan dengan pelaksanaan kegiatannya. Dalam hal
ini keterangan atau data mengenai klien yang diperoleh Ilmuwan Psikologi dan
Psikolog dalam rangka pemberian jasa/praktik psikologi hendaknya mematuhi
hal-hal sebagai berikut:
- Dapat diberikan hanya kepada yang berwenang mengetahuinya dan hanya memuat hal-hal yang langsung dan berkaitan dengan tujuan pemberian jasa/praktik psikologi.
- Dapat didiskusikan hanya dengan orang-orang atau pihak yang secara langsung berwenang atas diri klien / pemakai jasa psikologi.
- Dapat dikomunikasikan dgn bijaksana secara lisan atau tertulis kepada pihak ketiga hanya bila pemberitahuan ini diperlukan untuk kepentingan klien, profesi, dan akademisi. Dalam kondisi tersebut identitas orang / klien yang bersangkutan tetap dirahasiakan.
12.2.1.
Pembicaraan mengenai batasan kerahasiaan
Ilmuwan
Psikologi dan Psikolog membicarakan dengan klien, baik perorangan maupun
organisasi dengan siapa dia bekerja atau mempunyai hubungan kerja secara
profesional, yang bisa menunjukkan tentang relevansi pembatasan dan
kerahasiaan. Termasuk dalam hal ini adalah pembatasan yang bisa diterapkan
untuk pelayanan perorangan/individu dan kelompok, misalnya pasangan suami
isteri, terapi keluarga, atau terhadap perusahaan. Pemanfaatan informasi yang
diterima adalah semata-mata dalam kaitan tujuan pelayanan. Sejauh tidak
merupakan kontraindikasi yang bisa diartikan sebagai pelanggaran, maka
pembahasan mengenai kerahasiaan dapat dibicarakan dalam rangka pengembangan
hubungan (proses) maupun pencapaian tujuan (penyelesaian masalah).
Ilmuwan
Psikologi dan Psikolog mempunyai kewajiban utama untuk menjaga kerahasiaan yang
menjadi hak klien yang ditanganinya dan menyadari bahwa kerahasiaan itu
dilindungi oleh undang-undang, peraturan, atau dalam hubungan profesional dan
ilmiah. Dalam pelaksanaan tugasnya mereka harus berusaha untuk tidak mengganggu
kehidupan pribadi klien. Kalaupun diperlukan harus diusahakan seminimal
mungkin. Dalam hal diperlukan laporan, maka Ilmuwan Psikologi dan Psikolog
hanya memberikan laporan, baik lisan maupun tertulis, sebatas perjanjian atau
kesepakatan yang telah dibuat.
Ilmuwan
Psikologi dan Psikolog membicarakan informasi rahasia dalam rangka memberikan
konseling/konsultasi atau data klien (perorangan, organisasi, mahasiswa,
peserta riset) dalam rangka tugasnya sebagai penyelia, hanya untuk tujuan
ilmiah atau profesional. Pembicaraan hanya dilakukan dengan mereka yang secara
jelas memang terlibat dalam permasalahan atau kepentingan tersebut.
Dlm menyusun
rencana pencatatan, pemanfaatan, dan penyimpanan data, Ilmuwan Psikologi dan
Psikolog mmbuat tatacara pencatatan yg dpt mnjaga kerahasiaan klien. Urusan
pencatatan, pemanfaatan, penyimpanan, pemindahan, dan pemusnahan catatan/data
harus di bawah pengawasannya, yang bisa dalam bentuk tertulis / lainnya.
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog menjaga dan memusnahkan catatan/data dengan
memperhatikan kaidah hukum atau perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan
dgn pelaksanaan kode etik.
Dalam hal
diperlukan pengungkapan rahasia maka Ilmuwan Psikologi dan Psikolog dapat
membuka rahasia tanpa persetujuan klien hanya dalam rangka keperluan hukum atau
tujuan lain, seperti membantu mereka yang memerlukan pelayanan profesional,
baik secara perorangan maupun organisasi; untuk memberikan konsultasi secara
profesional; untuk melindungi klien dari masalah atau kesulitan. Pengungkapan
rahasia tidak dilakukan untuk mendapatkan pembayaran dari layanan yang
diberikannya. Pengungkapan rahasia harus terbatas pada minimum yang mungkin
diperlukan untuk dapat mencapai tujuan. Pengungkapan rahasia itu, baik sebagian
atau seluruhnya, dilakukan Ilmuwan Psikologi dan Psikolog dengan persetujuan
klien atau yang terkait, sejauh tidak dilarang oleh hukum.
Apabila
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog melakukan konsultasi antar sejawat, perlu
diperhatikan hal berikut dalam rangka menjaga kerahasiaan. Ilmuwan Psikologi
dan Psikolog tidak saling berbagi untuk hal-hal yang seharusnya menjadi rahasia
klien (peserta riset, atau pihak manapun yang menjadi kliennya), kecuali dengan
izin klien yang bersangkutan atau pada situasi di mana kerahasiaan itu memang
tidak mungkin ditutupi. Saling berbagi informasi hanya diperbolehkan kalau
diperlukan untuk pencapaian tujuan konsultasi, itupun sedapat mungkin tanpa
menyebutkan identitas atau cara pengungkapan lain yang bisa dikenali sebagai
identitas pihak tertentu.
Seandainya
data klien yang mendapat layanan jasa/praktik psikologi harus dimasukkan ke
data dasar (database) atau sistem pencatatan yang dapat diakses pihak
lain yang tidak dapat diterima oleh klien (kalau sampai dia tahu bahwa data
tersebut juga diketahui orang lain), maka Ilmuwan Psikologi dan Psikolog harus
menggunakan kode atau cara lain yang dapat melindungi klien dari kemungkinan
untuk bisa dikenali.
Dalam hal
diperlukan persetujuan terhadap protokol riset dari dewan penilai atau
sejenisnya dan memerlukan identifikasi personal, maka identitas itu harus
dihapuskan sebelum datanya bisa diakses. Kalau tidak bisa dihapuskan, maka
sebelum Ilmuwan Psikologi dan Psikolog memindahkan atau melakukan transfer
haruslah diusahakan untuk memperoleh persetujuan dari kliennya.
Ilmuwan
Psikologi dan Psikolog tidak membuka kerahasiaan klien-nya untuk keperluan
penulisan, pengajaran, maupun pengungkapan di media, kecuali kalau ada alasan
kuat untuk itu dan tidak bertentangan dengan hukum. Dalam pertemuan ilmiah atau
perbincangan profesi yang menghadapkan Ilmuwan Psikologi dan Psikolog untuk
mengemukakan data, harus diusahakan agar pengungkapan data tersebut dilakukan
tanpa mengungkapkan identitas, yang bisa dikenali sebagai seseorang atau
institusi yang mungkin bisa ditafsirkan oleh siapapun sebagai identitas diri
yang jelas ketika hal itu diperbincangkan.
12.2.2.
Melindungi data atau catatan yang tergolong rahasia.
Sejak awal
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog sudah merencanakan agar data yg dimilikinya
terjaga kerahasiaannya dan data itu tetap terlindungi, bahkan sesudah ia
meninggal dunia, atau tidak mampu lagi, / sudah putus hub dengan posisinya atau
tempat praktiknya.
Pemilikan
catatan dan data yang termasuk dalam klasifikasi rahasia, harus disadari
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog bahwa penyimpanan, pemanfaatan, dan pemusnahan
data atau catatan tersebut diatur oleh prinsip legal. Untuk itu Ilmuwan
Psikologi dan Psikolog mengambil tanggung jawab dan mencarikan perlindungan
hukum agar data tersebut tersedia dalam kaitan dengan kepentingan klien, baik
untuk klien pribadi maupun organisasi, peserta riset, atau lainnya.
Cara
pencatatan data yang kerahasiaannya harus dilindungi ini juga mencakup data
klien yang seharusnya tidak dikenai pemotongan pajak karena kliennya tidak
membayar dalam bentuk uang tunai. Ilmuwan psikologi atau psikolog mungkin tidak
punya catatan karena untuk tidak dikenai pemotongan pajak bagi klien yang
ditolongnya tanpa pembayaran. Dalam hal ini bisa saja mengikuti aturan lainnya
sesuai hukum yang berlaku.
Pasal 13
PENCANTUMAN IDENTITAS PADA LAPORAN HASIL PEMERIKSAAN DARI PRAKTIK PSIKOLOGI
Segala
keterangan yang diperoleh dari kegiatan praktik psikologi sesuai keahlian yang
dimilikinya, pada pembuatan laporan secara tertulis, Ilmuwan Psikologi dan
Psikolog yang bersangkutan wajib membubuhkan tanda tangan, nama jelas, dan
nomor izin praktik sebagai bukti pertanggungjawaban.
V.
PENJELASAN BAB IV : PERNYATAAN
Pasal 14
PERNYATAAN
14.1. Pasal 14 a: Pernyataan dan keterangan/penjelasan ilmiah
Dalam memberikan pernyataan dan keterangan/penjelasan ilmiah kepada
masyarakat umum melalui berbagai jalur media baik lisan maupun tertulis,
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog bersikap bijaksana, jujur, teliti, hati-hati,
lebih mendasarkan pada kepentingan umum daripada pribadi atau golongan, dengan
berpedoman pada dasar ilmiah dan disesuaikan dengan bidang keahlian/kewenangan
selama tidak bertentangan dengan kode etik psikologi. Pernyataan yang diberikan
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog mencerminkan keilmuannya, sehingga masyarakat
dapat menerima dan memahami secara benar. Dalam melakukan publikasi
keahliannya, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog bersikap bijaksana, wajar dan jujur
dengan memperhatikan kewenangan sesuai ketentuan yang berlaku untuk menghindari
kekeliruan penafsiran serta menyesatkan masyarakat pengguna jasa psikologi.
Dalam memberikan pernyataan publik yang berhubungan dengan jasa, produk,
atau publikasi profesional mereka di bidang psikologi, Ilmuwan Psikologi dan
Psikolog perlu memahami bahwa pernyataan publik mencakup tetapi tidak dibatasi
pada iklan yang dibayar atau tidak dibayar, brosur, barang cetakan, daftar
direktori, riwayat pribadi atau curriculum vitae, wawancara atau
komentar yang dimuat dalam media, pernyataan dalam buku hasil
seminar/lokakarya/pertemuan ilmiah (proceedings), kuliah, dan presentasi
lisan di depan publik, dan materi yang dipublikasikan. Meskipun dalam
memberikan pernyataan tersebut Ilmuwan Psikologi atau Psikolog melibatkan orang
lain untuk menciptakan atau menempatkan pernyataan publik yang mempromosikan
jasa, produk atau aktifitas profesional, tanggung jawab profesional untuk
pernyataan tersebut tetap berada di tangan Ilmuwan Psikologi dan Psikolog.
Berkenaan dengan tanggung jawab tersebut maka Ilmuwan Psikologi dan Psikolog
harus berusaha mencegah orang lain yang tidak dapat mereka kendalikan (misalnya
majikan, penerbit, sponsor, klien organisasi, dan representatif dari media
cetak atau siaran) dari membuat pernyataan yang bisa dikategorikan sebagai
penipuan berkenaan dengan jasa/praktik psikologi, kegiatan profesional, atau
ilmiah. Apabila Ilmuwan Psikologi dan Psikolog mengetahui adanya pernyataan
yang termasuk penipuan/pemalsuan terhadap karya mereka yang dilakukan oleh
orang lain, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog mengusahakan untuk membetulkan
pernyataan tersebut.
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak memberikan kompensasi pada karyawan
pers, baik cetak (surat kabar, majalah) maupun elektronik (radio, televisi)
atau media komunikasi lain sebagai imbalan untuk publisitas dalam berita. Iklan
yang dibayar berkaitan dengan kegiatan psikolog harus diidentifikasi sebagai
iklan bayaran, kecuali bila hal tersebut sudah nyata dari konteksnya.
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak membuat pernyataan publik yang palsu,
penipuan, menyesatkan, atau curang, baik karena apa yang mereka nyatakan,
sampaikan, atau usulkan, / karena apa yang mereka abaikan/tidak nyatakan,
berkaitan dgn penelitian, praktik, atau kegiatan pekerjaan lainnya, atau
orang-orang, atau organisasi yang menjadi afiliasi mereka. Sebagai contoh (dan
bukan terbatas) dari standar ini, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak membuat
pernyataan palsu atau menipu tentang (1) Latihan, pengalaman, atau kompetensi
mereka; (2) Gelar akademik mereka; (3) Surat mandat/kepercayaan mereka; (4)
Afiliasi institusi atau asosiasi mereka; (5) Jasa mereka; (6) Dasar ilmiah atau
klinis untuk, atau hasil dalam derajat keberhasilan jasa mereka; (7) Biaya
mereka; atau (8) Publikasi atau hasil penelitian mereka. Ilmuwan Psikologi dan
Psikolog dalam pernyataan yang dibuatnya mencantumkan gelar atau identitas
keahlian pada karya mereka di bidang psikologi yang dipublikasikan sesuai
dengan gelar yang (1) diperoleh dari institusi pendidikan yang diakreditasi
secara regional atau (2) menjadi dasar bagi lisensi psikologi oleh negara di
mana mereka berpraktik.
Dalam membuat pernyataan yang menyangkut laporan hasil pekerjaannya,
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak mengarang atau merekayasa data atau
memalsukan hasil penelitiannya dalam publikasi mengenai penelitian itu. Apabila
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog menemukan data yang tidak signifikan dalam
publikasi yang telah dikeluarkannya, mereka harus mengambil langkah-langkah
yang bertanggung jawab untuk membuat ralat terhadap kesalahan yang dilakukan,
seperti koreksi, retraksi, erratum, atau hal lain sehubungan dengan
publikasi yang telah dilakukan.
Dalam memberikan presentasi melalui media, yang bisa dilakukan dalam bentuk
memberi nasehat atau komentar melalui ceramah publik, peragaan, program radio,
atau program rekaman yang sudah dibuat sebelumnya, artikel cetakan, materi yang
dikirim melalui pos, atau media lainnya, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog
mengambil tindakan pencegahan untuk memastikan bahwa (1) pernyataan didasarkan
pada kepustakaan dan praktik psikologis yang tepat, (2) pernyataan konsisten
dengan kode etik, dan (3) penerima informasi tidak dianjurkan untuk
menyimpulkan bahwa suatu hubungan secara pribadi telah dibentuk dengan mereka.
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak meminta kesaksian dari klien atau
pasien psikoterapi yg sedang ditanganinya sendiri / oleh orang lain, yg karena
lingkungan khusus mereka rawan terhadap pengaruh yg tdk diinginkan akibat
pernyataan dalam kesaksian tersebut.
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak terlibat langsung atau melalui
perantara, dalam permintaan bisnis yang tidak diundang dari pasien atau klien
psikoterapi, baik yang aktual maupun potensial atau orang lain yang karena
lingkungan khusus mereka rawan terhadap pengaruh yang tidak diinginkan. Akan
tetapi, hal ini tidak termasuk mencoba untuk melaksanakan kontak yang sesuai
dengan orang lain yang signifikan untuk tujuan menguntungkan klien yang sudah
terlibat dalam terapi.
14.2. Publikasi keahlian
Dalam penggandaan publikasi data, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak
boleh menerbitkan data yang sebelumnya telah diterbitkan sebagai data orisinil.
Ketentuan ini tidak menghalangi penerbitan data kembali yang disertai
penjelasan tentang penerbitan ulang tersebut. Setelah hasil penelitian
diterbitkan, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak boleh menyembunyikan data
yang menjadi dasar kesimpulan mereka untuk kepentingan profesional lainnya yang
juga berkompeten, yang memerlukannya sebagai data tambahan yang menguatkan
pembuktiannya dengan melakukan analisis ulang, atau memakai data tersebut
sebagai landasan pekerjaannya. Dalam hal ini kerahasiaan peserta riset tetap
harus dilindungi. Adanya hak legal pemilik data juga tetap harus diperhatikan.
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog yang berstatus sebagai peninjau profesional
untuk materi yang dipublikasikan dan sedang melakukan tinjauan proposal
penelitian lainnya akan tetap mengakui dan menghargai kerahasiaan dan hak
pemilik.
VI. PENJELASAN BAB V : KARYA CIPTA
Pasal 15 PENGHARGAAN TERHADAP KARYA CIPTA PIHAK LAIN DAN PEMANFAATAN KARYA
CIPTA PIHAK LAIN
- Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib menghargai karya cipta pihak lain sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku. Mereka tidak boleh melakukan plagiarism. Penyajian bagian atau elemen substansial dari pekerjaan atau data orang lain tidak boleh disampaikan sebagai miliknya, bahkan jika pekerjaan atau sumber data lain itu sesekali disebutkan.
- Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak dibenarkan untuk mengutip, menyadur hasil karya orang lain tanpa mencantumkan sumbernya. Kredit publikasi yang diperoleh Ilmuwan Psikologi dan Psikolog harus dapat dipertanggungjawabkan. Kredit kepengarangan hanya diperoleh untuk pekerjaan yang benar-benar telah dikemukakan atau untuk pekerjaan di mana mereka telah ikut berpartisipasi. Kepengarangan dasar dan kredit publikasi lainnya benar-benar mencerminkan kontribusi ilmiah atau profesional relatif dari keterlibatan individual, tanpa melihat status relatif mereka. Kepemilikan atas suatu posisi institusional, seperti kepala bagian atau sebagai pimpinan lembaga, tidak seharusnya membenarkan pencantuman nama yang mendapatkan kredit kepengarangan. Kontribusi minor dalam penelitian atau pada penulisan yang dipublikasikan harus diakui dengan benar, seperti pada catatan kaki atau pada kata pengantar. Mahasiswa atau orang yang dibimbing tetap harus didaftar sebagai pengarang dasar kalau publikasi itu merupakan karyanya. Artikel yang dibuat banyak pengarang yang secara substansial disusun berdasarkan disertasi atau tesis mahasiswa tetap harus mencantumkan nama mahasiswa tersebut.
- Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak dibenarkan menggandakan, memodifikasi, memproduksi, menggunakan baik sebagian maupun seluruh karya orang lain tanpa mendapatkan izin dari pemegang hak cipta.
Pasal 16 PENGGUNAAN DAN PENGUASAAN SARANA PENGUKURAN PSIKOLOGIK
16.1. Kesepakatan dengan pengguna jasa/praktik psikologi
- Dalam membangun hubungan kerja dengan klien, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib membuat kesepakatan dengan lembaga/institusi/organisasi tempat bekerja mengenai hal-hal yang berhubungan dengan masalah pengadaan, pemilikan, penggunaan, penguasaan sarana pengukuran.
- Ilmuwan Psikologi dan Psikolog yang mengembangkan tes, melakukan pengambilan tes dan memberikan nilai atau skor, menginterpretasi, atau menggunakan teknik asesmen psikologis, wawancara, penggunaan instrumen lainnya melakukannya dengan cara dan untuk tujuan yang tepat dengan penelitian atau kenyataan tentang kegunaan dan aplikasi yang sesuai dari teknik-teknik tersebut. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak menyalahgunakan teknik asesmen, intervensi, hasil, interpretasi dan mengambil langkah-langkah untuk mencegah orang lain menyalahgunakan informasi yang diberikan oleh teknik-teknik tersebut. Termasuk dalam pengertian ini adalah tidak memberikan hasil tes atau data yang belum diolah kepada orang yang tidak punya kualifikasi untuk menggunakan informasi itu, kecuali pada pasien atau klien bila dianggap pantas.
- Ilmuwan Psikologi dan Psikolog yang mengembangkan dan melakukan penelitian dengan tes dan teknik asesmen lain menggunakan prosedur ilmiah dan pengetahuan profesional mutakhir dalam merancang tes, melakukan standardisasi, validasi, reduksi atau eliminasi bias, dan rekomendasi untuk penggunaan. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog yang melakukan intervensi atau melaksanakan, memberi nilai atau skor, menginterpretasi atau menggunakan teknik asesmen mengetahui reliabilitas, validasi dan standardisasi yang berkaitan atau hasil studi, dan penerapan dan penggunaan yang tepat, dari teknik yang digunakan. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog mengakui keterbatasan keputusan mengenai kepastian tentang diagnosis, atau prediksi yang dapat dibuat tentang seseorang.
- Psikolog mencoba mengidentifikasi situasi di mana intervensi atau teknik asesmen atau norma tertentu tidak bisa diterapkan atau perlu penyesuaian administratif, atau interpretasi karena faktor seperti gender, usia, ras, etnis, nasionalitas, agama, orientasi seksual, kecacatan, bahasa atau status sosial ekonomi. Ketika menginterpretasi hasil asesmen, termasuk interpretasi melalui alat, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog mempertimbangkan berbagai faktor tes dan karakteristik orang yang dinilai, yang mungkin mempengaruhi keputusannya, atau mengurangi ketepatan interpretasinya. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog dapat membahas keraguan mereka tentang ketepatan atau keterbatasan interpretasinya dengan kolega/ sejawat atau seniornya.
- Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak mendasarkan asesmen atau keputusan intervensi atau rekomendasi mereka pada data atau hasil tes yang sudah ketinggalan jaman untuk tujuan yang ingin dicapai dalam kondisi sekarang ini. Mereka juga tidak mendasarkan keputusan atau rekomendasi pada tes dan alat ukur yang usang dan tidak bermanfaat dalam ukuran keadaan sekarang.
- Ilmuwan Psikologi dan Psikolog adalah pihak yang menawarkan prosedur asesmen atau skoring pada profesional lain. Dalam upaya tersebut Ilmuwan Psikologi dan Psikolog secara akurat mendeskripsikan tujuan, norma, validitas, reliabilitas, dan aplikasi dari prosedur dan kualifikasi khusus lain yang berlaku dalam penggunaannya. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog memilih cara penilaian (skoring) dan interpretasi (termasuk penggunaan alat/perangkat) berdasarkan validitas dari program yang digunakan dan pertimbangan lain. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog bertanggung jawab untuk aplikasi, interpretasi dan penggunaan instrumen dalam melakukan asesmen yang sesuai, baik bila mereka melakukan penilaian dan menginterpretasikan tes itu sendiri (secara manual) atau menggunakan perangkat atau jasa lainnya.
- Dalam menjelaskan hasil asesmen, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog sangat memperhatikan kemampuan kliennya dalam menerima dan memahaminya, antara lain dengan menggunakan bahasa dan istilah yang dimengerti klien / pihak yg mewakilinya. Perkecualian terhadap ketentuan ini diberlakukan pada mereka yg mendapat layanan atas permintaan pihak lain (misalnya dalam kasus seleksi karyawan, konsultasi untuk organisasi, evaluasi forensik). Dalam hal pelaksanaan asesmen dan penilaiannya tidak dilakukan sendiri oleh Ilmuwan Psikologi dan Psikolog, tetap saja penjelasan hasilnya menjadi tanggung jawab mereka.
- Ilmuwan Psikologi dan Psikolog harus berusaha mempertahankan integritas dan keamanan tes dan teknik asesmen lainnya sesuai dengan hukum, kewajiban kontrak, dan dengan cara yang memungkinkan kepatuhan pada tuntutan kode etik. Kemampuan mempertimbangkan kepentingan pekerjaan yang tercantum dalam kontrak kerja dan ketentuan dalam Kode Etik Psikologi Indonesia diperlukan dalam menerima pekerjaan, terutama dalam jangka panjang dan secara makro.
- Dalam hal pendelegasian dan pengawasan terhadap mereka yang membantu Ilmuwan Psikologi dan Psikolog, mereka wajib mencegah dilakukannya pemberian jasa atau praktik psikologi oleh orang atau pihak lain yang tidak memiliki kompetensi dan kewenangan. Dalam pelaksanaan tugasnya, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog dapat saja mendelegasikan sebatas tanggung jawab tertentu saja, yang dapat diharapkan dilakukan oleh pribadi-pribadi tersebut dengan mahir, atas dasar pertimbangan latar belakang pendidikan, pelatihan, atau pengalaman mereka, baik secara mandiri atau dengan penyeliaan tertentu. Dalam hal ini Ilmuwan Psikologi dan Psikolog menyediakan pelatihan yang sesuai dan penyeliaan kepada karyawan atau mereka yang berada di bawah penyeliaan mereka, serta mengambil langkah-langkah tertentu untuk pengamanannya. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog harus memastikan bahwa pribadi–pribadi tersebut memberikan jasa dengan penuh tanggung jawab, kompeten, dan etis. Bila kebijakan, prosedur, atau praktik institusi menghalangi pemenuhan kewajiban ini, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog sedapat mungkin mengupayakan untuk memodifikasi peran mereka atau mengkoreksi situasi tersebut. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak menyarankan penggunaan teknik asesmen psikologis oleh orang yang tidak mempunyai kualifikasi untuk melakukannya.
VII.
PENJELASAN BAB VI : PENGAWASAN PELAKSANAAN KODE ETIK
Pasal 17
PELANGGARAN
- Setiap penyalahgunaan wewenang di bidang keahlian psikologi dan setiap pelanggaran terhadap Kode Etik Psikologi Indonesia dapat dikenakan sanksi organisasi oleh aparat organisasi yang berwenang sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Himpunan Psikologi Indonesia.
- Menghadapi isu etika ini jika Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak yakin apakah dalam situasi tertentu tindakannya bisa dianggap melanggar kode etik atau tidak, konsultasi dapat dilakukan dengan sejawatnya, terutama yang lebih memahami kode etik, baik di tingkat nasional maupun internasional. Konsultasi juga bisa dilakukan dengan pihak lain yang dianggap kompeten untuk membantunya mengambil keputusan yang tepat.
- Konflik antara kode etik dan tuntutan organisasi bisa saja terjadi. Kalau ada pertentangan antara organisasi tempat Ilmuwan Psikologi dan Psikolog bekerja dengan kode etik, mereka perlu mengklarifikasinya untuk dapat menggambarkan konfliknya. Sikap selanjutnya adalah kembali pada kode etik.
- Dalam hal penyelesaian informal terhadap pelanggaran etika, kalau Ilmuwan Psikologi dan Psikolog menyadari adanya kemungkinan diancam pelanggaran kode etik yang dituduhkan sejawatnya, mereka akan mengusahakannya untuk menyelesaikan secara informal agar tidak sampai merugikan citra profesi.
- Pd plaporn planggaran etika, kalau scr informal tdk bisa selesai, Ilmuwan Psikologi&Psikolog mngambil langkah u/ mnyerahknnya sesuai kondisi & situasinya, mis: mmanfaatkn badan peradilan / sejenisnya u/ mmberikn teguran kepada yg brsangkutn.
Pasal 18
PENYELESAIAN MASALAH PELANGGARAN KODE ETIK PSIKOLOGI INDONESIA
Dalam hal
terjadi pelanggaran Kode Etik Psikologi Indonesia, Pengurus Pusat bekerja sama
dengan Pengurus Wilayah dan Cabang yang terkait dapat memberi masukan kepada
Majelis Psikologi, sesuai dengan keterangan anggota yang bersangkutan dan
data-data lain yang berhasil dikumpulkannya. Pengurus Pusat bekerja sama dengan
Pengurus Wilayah dan Cabang yang terkait dapat mendampingi Majelis Psikologi
dalam pertemuannya untuk membahas masalah tersebut, juga dalam penyampaian
keputusan Majelis, baik kepada anggota yang bersangkutan maupun untuk diumumkan
sesuai dengan kepentingannya.
‘Apabila
terdapat masalah etika dalam pemberian jasa/praktik psikologi yang belum diatur
dalam Kode Etik Psikologi Indonesia maka Himpunan Psikologi Indonesia wajib
mengundang Majelis Psikologi untuk membahasnya, lalu disahkan pada kesempatan
kongres.
Pasal 19
PERLINDUNGAN TERHADAP ILMUWAN PSIKOLOGI DAN PSIKOLOG
Penyalahgunaan
pekerjaan ilmuwan dalam terapan profesi bisa saja terjadi. Untuk mencegahnya,
Ilmuwan Psikologi dan Psikolog perlu memperhatikan tawaran atau kesempatan yang
diperolehnya agar tidak ikut serta dalam kegiatan di mana orang lain dapat
menyalahgunakan keterampilan dan data mereka, kecuali ada mekanisme yang dapat
memperbaiki penyalahgunaan ini. Dalam kaitan ini apabila ada Ilmuwan Psikologi
atau Psikolog mengetahui tentang adanya penyalahgunaan atau kesalahan dalam
pemaparan atau pemberitahuan tentang pekerjaan mereka, maka Ilmuwan Psikologi
dan Psikolog mengambil langkah-langkah yang layak untuk memperbaiki atau memperkecil
penyalahgunaan atau kesalahan dalam pemaparan pemberitaan itu. Pemahaman peran
dan fungsi Ilmuwan Psikologi atau Psikolog dalam menerima pekerjaan sangat
diperlukan agar memiliki posisi yang kuat dan mandiri.
Pengurus
Pusat bekerja sama dengan Pengurus Wilayah dan Cabang yang terkait dapat
membantu memberikan perlindungan terhadap Ilmuwan Psikologi dan Psikolog yang
bersangkutan, dengan memperhatikan Kode Etik Psikologi Indonesia dan data
pendukung lainnya. Dalam hal diperlukan ketersediaan informasi dan data
pendukung, pengurus dapat memanfaatkan kerjasama dengan instansi lain, baik
pemerintah maupun sesama organisasi profesi atau lembaga lainnya. Data yang
diperoleh dari pengamatan pendahuluan dan investigasi sesuai kepentingannya
menjadi masukan bagi Majelis Psikologi untuk membahas dan merumuskan tindakan
yang dapat dilakukan dalam rangka memberikan perlindungan tersebut.
VIII.
PENJELASAN BAB VII : PENUTUP
- Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Psikologi Indonesia merupakan lampiran yang tidak terpisahkan dari Kode Etik Psikologi Indonesia, sifatnya menjelaskan dan melengkapi. Pedoman pelaksanaan disusun dengan mengingat kondisi dan situasi perkembangan psikologi, baik yang berlangsung saat ini maupun sebagai antisipasi terhadap perkembangan psikologi dalam dekade mendatang. Penyusunan pedoman dilakukan dalam periode 1998 - 2000, diajukan untuk dibahas di tingkat awal sebagai konsep pada pertemuan Rapat Kerja Pengurus Himpsi periode 1997 - 2000. Hasil pembahasan ini menjadi kelengkapan penyusunan konsep yang diajukan dalam Kongres VIII Himpsi. Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Psikologi Indonesia ini telah disahkan dalam Kongres VIII Himpsi di Bandung pada tanggal 20-22 Oktober 2000.
- Pedoman ini secara terus menerus ditinjau sesuai dengan perkembangan psikologi di Indonesia, yang memungkinkan dilakukannya ralat dan tambahan. Untuk setiap ralat dan tambahan dicantumkan tanggalnya agar senantiasa dapat diikuti perkembangannya dan dipahami alasannya. Ralat dan tambahan tersebut dapat saja dilakukan dalam Rapat Kerja Himpsi, pertemuan Pra Kongres, sedangkan pengesahannya dilakukan dalam Kongres.
- Untuk hal-hal yang belum diatur dalam pedoman pelaksanaan ini dapat mengacu pada kode etik yang berlaku secara internasional. Cara lain adalah melalui pembahasan Majelis Psikologi yang kemudian disahkan dalam kongres.
*Sumber dari HIMPSI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar